Mandira Dian Semesta
5 Kebiasaan Orangtua yang Berdampak Negatif pada Kecerdasan Emosi Anak
5 Kebiasaan Orangtua yang Berdampak Negatif pada Kecerdasan Emosi Anak By admin / 05 September 2018

Kecerdasan emosi anak sangat berpengaruh pada optimalnya tumbuh kembang mereka. Jadi, Ayah Bunda harus betul-betul memperhatikan soal ini. Jangan sampai putra putrinya tumbuh tidak sempurna hanya karena kecerdasan emosinya rusak oleh apa yang telah dilakukan Ayah Bunda sendiri.


Kita semua tahu, Ayah Bunda ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk putra putrinya. Ayah Bunda tentu punya cara atau metodologi mendidik sendiri. Ayah Bunda sendiri pun pasti yakin bahwa caranya itu baik untuk anaknya dan kelak mereka akan menyadarinya.


Bahkan, barangkali tak sedikit Ayah Bunda yang meyakini bahwa jika anaknya tak mengindahkan apa yang diarahkannya, kelak mereka akan menyesal. Pada gilirannya, kadang kala ada juga yang melakukan sesuatu  yang mungkin tak disenangi anak seraya berkata begini, “tidak apa-apa, ini untuk kebaikannya. Nanti juga mereka akan merasakannya.”


Dalam parenting, hal tersebut disebut dengan corrective measures. Memang, banyak orangtua yang percaya bahwa mereka menuntun atau berlaku untuk menolong kendati pada saat itu bisa saja si anak tidak menyukainya. Padahal, niat tulus tanpa dibarengi pengetahuan pun sebetulnya kurang baik juga.


Nah, Ayah Bunda yang baik hatinya, kita akan membahas 5 kebiasaan orangtua yang berdampak negatif pada kecerdasan emosi anak. Atau bisa dikatakan juga begini, perilaku orangtua yang dianggapnya benar padahal merusak kecerdasan emosi anak. Berikut selengkapnya.



  1. Membanding-bandingkan


“Lihat kakak, rajin bantu ibu. Enggak kayak adek!” “Tuh lihat temen adek di sekolah, mereka mah pinter-pinter, enggak kayak adek!” “Tuh lihat si itu si ini, enggak kayak adek!” Ayah Bunda pernah mengatakan hal seperti itu pada si kecil. Jika ya, mulai sekarang, jangan lakukan itu lagi!


Daripada membandingkan anak dengan saudaranya atau dengan anak lain, Ayah Bunda mending fokus pada aspek positif yang dimilikinya sambil mengurangi sisi negatifnya. Membangun, menyemangati, melatihnya lebih baik daripada membuatnya terlihat kurang atau lebih buruk dari yang lain. Ngat, anak-anak itu masih berkembang. Jadi mereka membutuhkan perhatian positif.


Ada sejumlah orangtua yang memang suka membanding-bandingkan anaknya. Mereka mengira bahwa dengan membandingkan, anaknya bisa belajar dari yang dibandingkan tersebut. Padahal, perbandingan itu kerap berdampak sebaliknya. Jadi, jangan sampai kecerdasan emosi anak rusak karena membanding-bandingkannya.



  1. Memaksakan untuk sama


Banyak orangtua yang takut akan sebuah perbedaan. Mereka percaya bahwa ada rasa aman ketika anaknya mengikuti atau sama dengan anak pada umumnya, untuk hal apapun. Mereka merasa bahwa mengikuti konsensus memberi  rasa nyaman. Orangtua dengan pemikiran ini biasanya memaksa anaknya untuk bertingkah wajar, sama seperti anak-anak pada umumnya, kaena jika anaknya keluar dari kebiasaan itu, maka mereka akan dicap nakal atau label kurang baik lainnya. Jadi, ketika ada anak yang melakukan hal kreatif, unik, atau berbeda, mereka akan dipandang aneh karena tak ada anak lain yang melakukan hal serupa dengannya.


Ayah Bunda, kesamaan adalah hal penting dan niscaya untuk sebagian kasus. Tapi dalam konteks lain, bisa jadi itu kurang bailk. Tentunya selama perbedaannya itu masih dalam koridor norma dan nilai yang dianutnya. Berpikiran atau bersikap out of the box itu sangat bagus. Yang jadi keliru adalah sikap orangtua yang memaksakan anaknya untuk sama. Itu seperti mengekangnya. Dan ada akhirnya, kecerdasan emosi anak di situ bisa jadi tercederai.



  1. Terus-terusan membicarakan kesalahan


Melakukan kesalahan adalah salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari anak-anak. Itu memang sudah sunatullah menjadi bagian dari proses belajarnya. Di saat yang bersamaan, ada orang tua yang berharap anaknya perfect hingga membicarakan sesuatu yang dianggapnya salah dari si anak secara berulang-ulang. Memang, mungkin orangtua tersebut melakukan itu agar si anak tak mengulanginya lagi.


Dari perspektif anak, membicarakan berulang-ulang kesalahannya adalah tindakan kurang tepat. Hal tersebut berisiko buruk pada kecerdasan emosi anak. Mereka mulai kehilangan rasa inisiatif, rasa percaya diri, dan keberanian untuk mengambil risiko. Dengan membicarakan kesalahan terus menerus, secara berangsur bukan tidak mungkin si anak bakal menjadi penakut. Mereka kelak bisa jadi bakal selalu memilih jalan yang minim pertentangan.


Yang harus digarisbawahi adala begini, Bund. Mengajarkan anak untuk menerima kesalahan itu sangat baik. Melatih anak untuk mengakui kesalaan dengan sendirinya itu sangat baik. Namun, jangan sampai ada negatif nada dari cara bicara Ayah Bunda saat mengingatkan. Gunakan mental positif dan dewasa saat berdiskusi dengan balita sekalipun.



  1. Meragukan mimpi, aspirasi, dan cita-cita anak


Zaman antara anak dan orangtua itu berbeda. Orangtua akan membesarkan anak yang hidup di zaman berbeda denannya. Perbedaan zaman itu pula menyeabkan segalanya berbeda, termasuk, misal, budaya dan jenis kerja. Nah, anak bisa jadi mencita-citakan karir yang sama sekali tak pernah terpikir dan tak terjangkau oleh orangtua. Dan dalam kondisi demikian, sangat bijak bagi orangtua yang membebaskan dan memotivasi anaknya untuk karir-karir yang unik dan tidak terbayangkan olehnya. Jangan lakukan sebaliknya! Jangan paksa anak menjadi apa yang ada pada bayangan Ayah Bunda saja. sebab, zaman sudah berbeda dan anak hidup pada zaman yang berbeda pula.



  1. Menilai kecerdasan anak dari nilai rapot


Mungkin tak disadari, menilai kecerdasan si kecil berdasarkan angka-angka di buku rapot itu dapat berdampak buruk pada kecerdasan emosi anak. Membiasakan menilai kecerdasan berdasar pada nilai rapot atau sejenisnya seperti menghipnotis anak bahwa jika nilainya buruk, berarti mereka bukan anak pandai. Begitupun sebaliknya.


Untuk kondisi seperti ini, buku Halo Balita bisa menjadi solusi. Di dalam buku ini, kecerdasan anak, mulai dari kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, hingga sosial akan di latih. Tak hanya itu, Ayah Bunda akan dibekali kemampuan untuk mengevaluasi kecerdasan itu dan bagaimana melatihnya pada anak secara terstruktur. Semoga membantu.


Nah, Ayah Bunda sekalian, itulah 5 kebiasaan orangtua yang secara tidak sadar bisa berdampak buruk pada kecerdasan emosi anak. Semoga Ayah Bunda bisa terus memperluas wawasan parentingnya sehingga bisa meminimalisir kesalahan-kesalahan sendiri yang mungkin dilakukan.