Mandira Dian Semesta
5 Rahasia Membalikkan Kecerdasan Emosi Anak yang Buruk Menjadi Super Luar Biasa Baiknya
5 Rahasia Membalikkan Kecerdasan Emosi Anak yang Buruk Menjadi Super Luar Biasa Baiknya By admin / 12 October 2018

Kecerdasan emosi anak tidak bisa dilepaskan dengan kebiasaan. Ketika kebiasaan anak baik, meka, hal tersebut menunjukkan kecerdasan emosinya juga baik. Sebaliknya, jika Ayah Bunda masih sering melihat kebiasaan buruk dalam perilakunya, ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi anaknya pun kurang baik. Katakanlah demikian.


Sayangnya, banyak tips atau kiat-kiat parenting yang berfokus pada bagaimana cara mengatasi kebiasaan buruk (misbehaviour). Itu memang bagus dan sangat membantu, menawarkan solusi bagaiana cara survive dengan hal tersebut. Namun, alangkah lebih baik jika yang dibahas adalah juga tentang cara pencegahannya.


Yang umumnya dibicarakan tentang kebiasaan buruk tersebut adalah tentang bagaimana anak bisa menanganinya. Sementara bagaimana cara memahami kebiasaan buruk dan bagaimana mencegahnya, sangat jarang diajarkan.  


Mungkin ini tak langsung mengena pada topik yang sedang kita bahas, Bunda! Tapi tak ada salahnya juga untuk melihat sebuah riset yang dilakukan Professor John Gottman, pakar revolusi hubungan (relationship). Mesti digarisbawahi bahwa risetnya ini bukan riset yang dilakukan sehari dua hari untuk memenuhi standar keluusan saja. Penelitian yang dilakukan Gottman ini menghabiskan waktu yang cukup panjang.


Gottman memilih 100 pasangan suami istri yang sudah memiliki anak berusia antara 4 dan 5 tahun. Lalu, ia memberi kuisioner pada anak-anak itu dan melakukan wawancara selama riban jam. Gottman meneliti kebiasaan anak-anak tersebut. meneliti bagaimana mereka bermain dengan teman-temannya, mneliti detak jantungnya, tekanan darahnya, keringatnya. Kemudian juga Gotten mengambil sample urin anak-anak tersebut untuk menghitung tingkat stres hormonnya. Meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama Ayah Bundanya dan test-test lainnya.


Dari penelitian panjangnya itu, salah satu temuannya seperti ini. Ada 4 tipe orantua dalam mengahadapi kebiasaan atau emosi buruk anak.



  • Membebaskan (Dismising Parents)


Orantua tipe ini bersikap mengabaikan, tak acuh, atau menganggap remeh emosi negatif anaknya.



  • Menentang (Disapprovin Parents)


Ya, orantua tipe kedua ini sangat menentang adanya emosi negatif pada anaknya. Mereka mengkritisi hingga menghukum anak atas tindakkan buruk sebagai ekspresi dari emosinya yang juga kurang baik.



  • Menerima (Laissez-Faire Parents)


Gottman menyebutnya demikian, Laissez-faire parents. Orangtua tipe ini menerima kebiasaan buruk anak buah dari emosinya yang, ya tidak baik. Orangtua ini berempati pada tingkat kcerdsan emosi anak yang masih belum berkembang dengan baik. Namun hanya sebatas itu. Orangtua tipe ini tidak memberikan tuntunan untuk memperbaikinya ataupun tidak memberikan batasan pada kebiasaan dan emosi buruk tersebut.


Ketiga jenis orangtua di atas tidak bisa membuat kondisinya lebih baik, tidak bisa membantu anak untuk menjadi lebih baik, tidak mampu membantu anak meningkatkan kecerdasan emosinya. Anak-anaknya cenderung semakinlebir dalam kebiasaannya yang kurang baik itu, mereka kesulitan dala membangun pertemanan, bahkan anak-anak dengan orangtua ketiga tipe di atas cenderung punya masalah dalam hal self-esteem.



  • Menerima dan Mengarahkan (Ultra Parents)


Ini tipe orangtua yang keempat. Ayah Bunda tipe ini tanpa sadar telah mempraktikkan apa yang disebut Gottman sebagai “emotion-coaching”. Sikap ini mampu meningkatkan kecerdasan emosi anak. Jadi begini, orangtua menerima emosi, kebiasaan, atau perasaan negatif anak. Ayah Bunda ini merangkul itu semua seraya memberi panduan pada anak untuk menjadi lebih baik melalui  emotional moments (tahu kapan waktu yang tepat untuk memberinya nasihat).


Ingat, di dalam keluarga seharusnya tak pernah keluar bentakkan atau teriakkan dari orangtua. seperti apapun kondisinya. Ketika anak membentak, misal, jangan balas itu dengan bentakkan. Tetap pelankan suara. Jika Ayah Bunda mengeluarkan suara dengan nada tinggi, bukan tidak mungkin anak berpandangan bahwa teriakkan itu cara untuk menyelesaikan satu masalah, seperti yang dilakukan Ayah Bundanya. Sikap ini ialah salah satu bagian dari Ultra Parents.


Nah, berbeda dengan tiga tipe orangtua sebelumnya, jika Ayah Bunda bersikap seperti Ultra Parents, yang akan terjadi pada anak, sesuai dengan apa yang dituliiskan Gottman dalam hasil penelitiannya, adalah sebagai berikut;


Anak menjadi lebih mampu menenangkan dirinya ketika mereka marah. Mereka mampu dengan sangat cepat memperlambat detak jantungnya. Karena kemampuan itu pula mereka mampu secara signifikan meminimalisir peluang teridap penyakit menular. Kemudian, anak-anak ini juga lebih mampu untuk fokus, punya hubungan lebih baik dan lebih sehat dengan masyarakatnya, bahkan pada situasi sosial yang sulit. Ya, mereka punya daya nalar yang sangat bagus dan mampu memahami orang lain. Dalam dunia akademik pun performa mereka sangat mencengangkan.


Uniknya, Gottman menulis begini; anak-anak yang dididik oleh Ultra Parents itu mampu membangun kecerdasan intelektual (IQ) tentang manusia, perasaan, dan emosi. Waw! Terminolgi yang keren banget ya, Bund!


Lantas bagaimana cara menjadi Ultra Parents. Dengan kata lain, bagaimana cara menjadi Ayah Bunda yang mampu membalikkan kecerdasan emosi anak yang tak begitu baik menjadi super duper baik!


Jangan berkedip! Gottman mengungkapkan, Inilah 5 rahasia Ultra Parents.



  1. Ayah Bunda mesti menyadari perasaannya sendiri


Dalam studinya terbukti bahwa orangtua bisa merasakan perasaan anaknya ketika mereka menyadari perasaan atau eosinya sendiri. Sederhananya, kesadaran emosi ini adalah saat di mana Ayah bunda merasakan emosinya sendiri, mampu mengidentifikasi perasaannya sendiri, hingga akhirnya mampu secara sensitif merasakan emosi atau perasaan orang lain, termasuk anaknya.


Temuan ini agak berbeda dengan pemahaman pada umumnya. Jadi, syarat pertama untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak, Ayah Bunda mesti menyadarai perasaan atau emosinya sendiri terlebih dahulu.



  1. Dengarkan dengan penuh empati


Intinya begini, terima semua perasaan atau emosi anak, tapi tidak semua tindakkan atau kebiasaannya. Jika anak marah, terimalah perasaan itu, tapi tidak jika iamengekspresikannya dnegan tindakkan berbahaya dan membahayakan. Cara menerimanya adalah dengan endengarkan dengan penuh empati. Bukan menghukumi atau mengutuk! Di saat berbincang, janan pernah menginterogasi, tapi harus memvalidasi (validate). Meginterogasi itu bertanya dengan nuansa mengancam, etidaknya begitu yang akan erasa oleh anak.



  1. Bantu anak melabeli emosinya


Menyediakan kata atau istilah untuk membantu anak mendefinisikan perasaannya itu penting. Misal, ketika anak tampak tengah merasakan ketidaknyamanan, coba tanyakan “kamu sedang sedih, ya?” Dengan demikian anak tak hanya memahami perasaannya, tetapi juga mempunyai kata atau istilah untuk menggambarkan perasaannya. Riset menunjukkan bahwa pelabelan atas perasaan mampu memberi efek ketenangan pada sistim saraf, membantu anak dengan cepat meredakan rasa marah.



  1. Optimalkan emosi sebagai sarana belajar


Cara terbaik untuk berdamai dengan emosi adalah belajar dari emosi tersebut. Sederhananya, cara terbaik bagi anak untuk belajar tentang apa itu sedih adalah merasakan kesediahan itu. Gottan sendiri menyebut itu memang tidak menyenangkan. Tapi begitulah faktanya. Ia juga mengatakan bahwa emosi adalah peluang orangtua untuk membentuk keintiman dengan anak.


5.Tentukan batasan emosi dan bantu mereka menyelesaikan masalahnya


Sudah dikatakan, semua perasaan itu bisa diterima, tapi tidak semua tindakkan atau kebiasaan bisa. Ayah Bundaharus menentukan batasannya. Sekali emosi melampaui batas wajar, Ayah Bunda harus tegas! Memberi batasan artinya menunjukkan pada anak bahwa sejumlah tindakkan tertentu itu tidak tepat dan tidak dapat ditolerir.


Setelah Ayah Bunda mendengarkan dengan penuh empati, membantu melabeli perasaannya, menentukan batasan atas tindakkan buruk, maka sekarang waktunya membantu mereka memperbaiki itu semua. Seseorang harus menunjukkan bagaimana cara menyelesaikannya. Dan itu bukan Ayah Bunda!


Ayah Bunda tak akan terus-terusan bersama mereka. Jadi, dorong mereka untuk selalu rasional, arahkan mereka pada cara berpikir solutif denan efektif dan mempertimbangkan perasaan orang lain. ini adalah cara bagaimana kecerdasan emosi anak menjadi resourceful. Akhirnya, tumbuhlah seorang anak yang bertanggung jawab.