Mandira Dian Semesta
Ingin si Kecil jadi Insinyur? Itu Bukan Tentang IQ! Beri Ia Buku Pop Up Anak
Ingin si Kecil jadi Insinyur? Itu Bukan Tentang IQ! Beri Ia Buku Pop Up Anak By admin / 02 November 2018

Buku pop up anak ternyata media edukasi yang tepat untuk membesarkan anak menjadi insinyur. Hal tersebut dilandaskan pada studi yang dibuat oleh Google tentang kompetensi terpenting yang wajib dimiliki para insinyur perusahaan teknologi terdepan tersebut.


Mungkin, kebanyakan orangtua beranggapan bahwa jika ingin anaknya menjadi seorang insinyur atau programmer, maka yang harus dikedepankan adalah IQ atau kecerdasan otaknya, kemampuan programming, teknik, dan matematikanya. Padahal ternyata tidak demikian.


Kita semua tahu, kemahiran komputer, programming, matematis adalah satu hal yang mesti dimiliki seseorang sebagai insinyur. Namun, kemampuan anak dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan oranglain adalah aset berharga yang harus dimiliki calon insinyur.


“Diantara 8 nilai terpenting yang dimiliki oleh pegawai terbaik Google, kompetensi STEM (science, technology, engineering, and mathematics) itu berada di urutan terakhir,” kata Cathy N. Davidson, pendiri the Futures Initiative sekaligus penulis buku The New Education: How to Revolutionize the University oto Prepare Students for a World in Flux.


Ayah Bunda barangkali akan kaget mengetahui ini. Dalam Google’s Project Oxygen yang diluncurkan tahun 2013 silam, kualifikasi teratas yang harus dimiliki seorang manajer atau Insinyur salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia ini adalah 4 hal berikut, yaitu, mampu menjadi pengajar yang baik, mampu berkomunikasi dan mendengarkan dengan baik, menyampaikan gagasan dengan baik (termasuk mengakomodir perbedaan pandangan dari yang lain), dan memiliki empati serta suportif kepada rekan kerja lainnya.


Ya, sebelum kompetensi-kompetensi berbasis IT, 4 nilai teratas yang dipegang oleh Google adalah seperti apa yang ditulis di atas. Dan kualifikasi lain yang berada di atas technical skills adalah kemampuan memecahkan masalah, berpikir abstrak, dan berpikir kritis.


Selain itu, tahun 2017 Google juga membuat studi yang bernama Project Aristotle. Studi ini digagas untuk menelaah kualitas sebuah tim dan para anggotanya di Google. Hasilnya masih sama. Perkara kemampuan teknikal itu barang wajib. Tapi ada yang lebih penting bagi kualitas berbagai grup di dalam tubuh Google, yakni kemampuan berkomunikasi, menghargai, dan menghormati nilai-nilai dari rekan kerjanya.


Temuan tersebut memberikan pesan kepada kita semua, termasuk Ayah Bunda, anak-anak yang akan menjadi orang dewasa sukses itu tidak ditentukan oleh seberapa tinggi skor IQ atau kecerdasan intelektualnya. Oleh sebab itu, yang mesti Ayah Bunda lakukan ketika membesarkan anaknya adalah merawat dan mengembangkan emotional quotient (EQ) atau kecerdasan emosinya.


Howard Gardner, teorist berpengaruh dari Harvard, bilang, “EQ adalah tingkatan kemampuan kamu untuk memahami orang lain, mengerti apa yang memotivasi mereka dan bagaimana bekerja secara kooperatif bersama mereka.”


Ayah Bunda bisa lihat, di perusahaan sebesar dan se-leading Google saja, untuk menjadi insinyur di sina, yang dikedepankan adalah aspek-aspek emosi dan sosial.


Tapi jangan salah memahami ya. Kalau dijabarkan barangkali begini, untuk menjadi insinyur, kompetensi di bidang teknik tertentu itu wajib. Namun, tak semua orang yang kompetensi tekniknya baik itu bisa bekerja di Google, sebab ada nilai yang lebih luhur yang dipegang di sana. Yaitu 4 hal di atas tadi.


Lantas, Ayah Bunda mesti paham bahwa aspek-aspek emosional dan sosial adalah nilai-nilai yang tidak bisa diajarkan semalam. Berbeda dengan ilmu-ilmu teknik keinsinyuran yang bisa dipelajari sejak duduk di bangku kuliah. Dari pertimbangan tersebut didapatlah pemahaman bahwa ketika saat anak masih kecil, yang mesti lebih ditekankan atau lebih difokuskan adalah pengasahan atau pengembangan sisi-sisi sosial dan emosional anak. Berikutnya, yang lain kan mengikuti.


Namun, zaman terus berkembang dan inovasi terus hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Buku pop up anak sebetulnya bukan jenis buku yang baru. Tetapi sudah hadir cukup lama. Di awal kelahirannya, buku pop up memang digunakan oleh para insinyur untuk membuat ilustrasi 3 dimensi. Bisa dibilang seperti diorama atau miniatur. Tetapi ini buku yang punya kekhasan sendiri.


Omong-omong, Ayah Bunda pasti sudah tahu kan apa itu buku pop up anak? Isi bukunya berupa ilustrasi yang terlihat lebih nyata, ilustrasi tiga dimensi. Itulah kenpa buku pop up anak ini kerap dipanggil juga buku 3D.



Lantas, kaitan antara buku pop up anak dengan keinsinyuran atau mendidik si kecil menjadi insinyur itu apa? Begini, ketika si kecil bermain atau membaca buku pop up anak, sejatinya mereka tengah terpapar oleh konsep matematis, materi teknik banget. Ilustrasi yang nyata, yang bagaimana ilustrasinya bisa bangkit dengan rapi ketika lembaran buku dibuka dan melipat dengan sendirinya ketika lembaran buku ditutup itu adalah pekerjaan teknik. Butuh hitungan matematis, butuh pola. Semuanya mesti presisi. Nah, hal tersebut memperkenalkan sekaligus mengajak anak berpikir tentang konsep matematika.


Di sisi lain, kendati belum ada riset yang dilakukan untuk meneliti dampak buku pop up anak terhadap kecerdasan emosi mereka, diduga kuat bahwa aspek emosi adalah salah satu aspek yang mendapat pengaruh positif. Sebab secara kasar, interaksi anak dengan buku pop up itu berbeda dengan buku-buku pada umumnya. Dari situ akan terlihat betapa buku pop up dengan apik memadukan aspek intelektual dan emosional yang pada gilirannya disalurkan pada anak.


Buku pop up anak model begini salah satunya adalah Wow, Amazing Series. Ini adalah buku pop up yang diterbitkan oleh Pelangi Mizan. Pop up-nya berupa lampion. Sementara materinya berbicara banyak tentang alam semesta. Cocok banget deh untuk jadi bahan bacaan calon insinyur. Hihi.