Kecerdasan spiritual anak seringkali luput dari pembahasan tema besar kebijaksanaan. Pasalnya, pemahaman orang pada umumnya, kebijaksanaan tempatnya di orang dewasa, atau bahkan di orang tua. Hem.
Jadi, sebetulnya, bagaimana sih kelindan antara kecerdasan spiritual, anak-anak, kebijaksanaan, dan orangtua ini berlangsung. Mari kita urai semuanya.
Begini, pengetahuan itu sangat mudah diraih. Dengan internet, segala rupa informasi bisa didapat dengan mudah dan murah. Tapi, bagaimana dengan kebijaksanaan? Pengetahuan itu semata tentang koleksi informasi yang dimiliki. Sedangkan kebijaksanaan itu tentang kecerdasan spiritual yang tentu di dalamnya meliputi emosi.
Nah, sebetulnya, apa itu kebijaksanaan?
Dari dulu sampai sekarang, Ilmuwan dari seluruh dunia seolah berdebat tentang hal ini dan tak pernah keluar definisi yang pasti tentang apa itu kebijaksanaan. Hingga pada akhirnya, sebagaimana orangtua bilang, kebijaksanaan itu dilihat, dirasakan, bukan didefinisikan.
Di dalam buku WISDOM: from Philosophy to Neuroscience, dituliskan bahwa psikolog “gerontologically correc” sekalipun gagal menemukan bukti yang menunjukkan hubungan antara usia dengan tingkat kebijaksanaan. Di sana ditulis bahwa peneliti yang tergabung dalam Berlin Wisdom Project berulang kali gagal menemukan bukti meyakinkan yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan itu tumbuh dengan cepat seakan usia dua puluhan hingga sembilan puluhan (sebagaimana yang dipercaya banyak orang).
Justru, masih dari buku yang sama, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan seseorang itu berkaitan erat dengan kesengsaraan masa kecil orang tersebut. Berikut salah satu kutipannya;
…sejumlah penelitian telah menempatkan akar kebijaksanaan itu di masa awal remaja dan masa awal dewasa… kebijaksanaan selalu tumbuh pesat seiring dengan kesusahan di masa awal hidup seseorang. Responden dari Berling Aging Study yang tingkat kebijaksanaannya tinggi itu memiliki masa kecil yang sulit.
Berlin Wisdom Project sendiri menulis beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kebijaksanaan, yakni ada kecerdasan umum dan pendidikan, paparan mentor di awal masa hidupnya, pengaruh budaya, serta akumulasi dari pengalaman di dalam hidup yang sudah dijalaninya. Hal tersebut tampak dikuatkan oleh the Grant Study, di Harvard tahun 1950-an, yang menyatakan bahwa emosi adalah kunci untuk memprediksi kebijaksanaan.
Nah, Ayah Bunda sekalian, dari paparan di atas ingin ditegaskan bahwa kebijaksanaan itu bukan tentang usia. Tidak lantas karena rambut yang sudah beruban, seseorang menjadi bijaksana. Tidak lantas karena seseorang masih remaja, maka orang tersebut tak bijaksana.
Sebaliknya, data di atas menunjukkan bahwa masa kecil adalah masa krusial yang menentukan kebijaksanaan seseorang. Bahkan sebetulnya di dalam buku yang dirujuk di atas itu dituliskan beberapa contoh orang-orang bijak terkenal di dunia yang sejak masa kecil sudah tak punya orangtua, seperti Soccrates, Mahatma Gandhi, dan lainnya. Jangan lupa, lihat pula junjungan kita semua, Nabi Muhamad Saw. Usia berapa ia ditinggal Ayahnya dan ibunya. Bagaimana masa kecilnya. Dan tentu kita tahu bahwa beliau adalah manusia yang paling bijaksana.
Kendati demikian, kebijaksanaan tidak terbatas hanya pada mereka yang masa kecilnya memiliki banyak tragedi. Lifelong learning adalah bagian dari kebijaksanaan dan pengetahuan. Jika Ayah Bunda ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana, kurangilah mengajarkan mereka untuk memikirkan dunia. Tapi, habiskanlah lebih banyak waktu untuk megajarkan mereka memahami bagaimana dunia membuat dirinya merasa.
Dari paparan di atas pula kita bisa mengambil benang merah. Kecerdasan spiritual anak adalah kunci dari kebijaksanaan. Tengok saja, faktor-faktor kebijaksanaan yang dicanangkan Berlin Wisdom Project itu semuanya termuat dalam aspek-aspek kecerdasan spiritual anak. The Grant Study pun kecenderungannya demikian.
Semakin intens Ayah Bunda mengasah kecerdasan spiritual anak, semakin bijaksana pula ia. Menghargai, menghormati, kerendahan hati, kedalaman emosi, adalah beberapa hal yang tercakup dalam spiritual. Dan buah dari itu semua adalah kebijaksanaan.
Dalam proses mengasah kecerdasan spiritual anak, media yang digunakan sangat penting perannya. Buku Halo Balita merupakan salah satu di antara sedikit perangkat edukasi yang menaruh perhatian besar terhadap hal kecerdasan spiritual anak.
Hal itu tampak pada bobot materi yang dikedepankan. Tema besar spiritual yang digabungkan dengan bahasan kebaikan universal dan kemampuan dasar tak dipungkiri menjadi strategi brilian guna mencapai apa yang diharapkan, yakni ketebalan kecerdasan spiritual anak yang outputnya berupa kebijaksanaan.